Powered by Blogger.

Saturday, May 24, 2014

Iman di Sisi Ahlis Sunnah wal Jama’ah


 الحمد لله وصلى الله على رسول الله وعلى آله وصحبه و من اهتدى بهداه, أما بعده
Menjawab permintaan dari sebagian saudara-saudara saya penuntut ilmu, yaitu agar supaya menjelaskan tentang permasalahan iman yang sesuai dengan akidah ahlis sunnah wal jama’ah, maka dengan ini saya ringkaskan permasalahan tersebut dengan harapan lebih mudah difahami oleh setiap muslim dan muslimah yang membacanya. Dan demi terjaganya nilai ilmiyah dari ringkasan ini, turut saya nukilkan beberapa pandangan ulama ahlis sunnah di dalam permasalahan ini. 

Adapun pandangan ahlis sunnah wal jama’ah tentang permasalahan iman, bahwa:
- Pembicaraan mengenai apa itu iman adalah perkara yang murni berdasarkan kepada dalil syar’i yaitu al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih, dan tidak ada peluang ijtihad ataupun akal membicarakannya. Dan berdasarkan dalil-dalil syar’i melalui keterangan para ulama ahlis sunnah dari masa dahulu hingga kini bahwa;

- Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan amalan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah ketiga unsur iman dalam definisi ahlis sunnah wal jama’ah. Dari definisi ini, maka;
- Ucapan adalah bagian dari iman dan amalan juga bagian dari iman. Karena itulah sebagian salafus saleh mendefinisikan iman dengan: (qaul wa amal/ucapan dan amal). Jadi ucapan dan amal masuk dalam esensi keimanan.
- Amal tidak diistilahkan sebagai syarat iman. Sebab, syarat adalah sesuatu yang berada di luar sifat yang disyarati. Sedangkan amal bukan di luar iman, tetapi ia adalah bagian dari esensi keimanan.
- Dengan ini, maka iman seseorang tidak sah kecuali bila terkumpul padanya ketiga hal di atas, yaitu ucapan, keyakinan, dan amalan.
- Dari definisi di atas, tersisihkan;
- Akidah murji’ah dengan berbagai pecahannya, dengan pendapat mereka yang paling masyhur di antaranya:
  1. Iman cukup dengan keyakinan hati saja, tidak bertambah dan berkurang.
  2. Iman cukup dengan ucapan saja, sedangkan keyakinan dan amal bukan bagiannya.
  3. Iman cukup dengan ucapan dan keyakinan hati, sedangkan amal bukan bagian dari keimanan melainkan penyempurnanya saja, tidak bertambah dan dan tidak pula mengalami pengurangan.
Di bawah ini beberapa perkataan ahli ilmu yang menjadi sandaran keterangan di atas,

A. Fatwa Komite Tetap Bidang Kajian ilmu dan Fatwa Arab Saudi
Teks pertanyaan,
السؤال الأول من الفتوى رقم (8008)
س: قضية الألوهية وما يعنى بشهادة لا إله إلا الله فالمطلع على كتب بعض الأئمة من سلفنا الصالح مثل كتاب [فتح المجيد شرح كتاب التوحيد] ، [مجموعة التوحيد] لشيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب وشيخ الإسلام أحمد بن عبد الحليم بن تيمية و [معارج القبول في شرح سلم الوصول] للشيخ حافظ حكمي وغيرهم يجد الآتي أولا: في [فتح المجيد] قال الشيخ رحمه الله في معنى لا إله إلا الله نقلا عن شيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب رحمه الله أنه لم يجعل التلفظ بها وحده كافيا، بل لا بد من العلم بل لا بد من التلفظ والعلم والعمل ولم يجعل ذلك كافيا بل لا بد من الكفر بما يعبد من دون الله، وذلك عند شرحه لحديث مسلم رحمه الله «من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه. رواه مسلم. (انظر [فتح المجيد] (ص 90) (مكتبة الرياض الحديثة)) . وذلك في الحين الذي نجد في كتاب ولاة لا قضاة أن الرجل يركز على مفهوم الشهادة باللفظ دون ما ذكره شيخ الإسلام رحمه الله تعالى وغيره وكذا المطلع على أقوال سلفنا الصالح من أن الإيمان قول وعمل يحتار عندما يجد في أقوال معاصرينا أنه القول دون العمل
وعندما قال السلف في عناصر الإيمان الثلاثة قول باللسان، وعمل بالأركان، وتصديق بالجنان يجد في ذلك أيضا حيرة أفتونا في الحق من هذا بعدما علمتم ما سقناه؟

ج: الصواب في ذلك قول أهل السنة والجماعة أن الإيمان قول باللسان وعمل بالأركان وتصديق بالجنان، ولا يكتفي في ذلك بالنطق
 باللسان إلا في إجراء أحكام الدنيا من تغسيله إذا مات وتكفينه ودفنه في مقابر المسلمين ونحو ذلك من أحكام الدنيا إذا لم يعلم منه ما يقتضي كفره، وأما شهادة أن لا إله إلا الله فمعناها (لا معبود حق إلا الله) ولا يكفي مجرد القول، بل لا بد من الإيمان بالمعنى والعمل بالمقتضى، كما قال الله سبحانه في سورة الحج {ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ} (الحج:62) وقال سبحانه: {وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ} (البينة:5) والآيات في هذا المعنى كثيرة.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو ... عضو ... نائب رئيس اللجنة ... الرئيس
عبد الله بن قعود ... عبد الله بن غديان ... عبد الرزاق عفيفي ... عبد العزيز بن عبد الله بن باز.

Pertanyaan no. 8008:

Soal: Tentang masalah uluhiyah dan tentang syahadat (Laa Ilaah illallah), apabila menelaah kitab-kitab sebagian ulama salafus saleh, misalnya kitab (Fathul Majid) dan kitab (Majmu’ah Tauhid) karya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah, demikian juga kitab (Ma’arijul Qabul Fi Sulamil Wushul) karya syaikh Hafizh Hukmi dan selainnya, maka akan didapati di antaranya;

Pertama, dalam kitab (Fathul Majid) syaikh menerangkan tentang makna (Laa Ilaaha illallah) menukil dari syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa pengucapan saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi ilmu (terhadap maknanya), bahkan harus dibarengi pengucapan, ilmu, dan amal. Dan bahkan lagi, kesemuanya itu tidak cukup jika tanpa dibarengi dengan ingkar terhadap segala sesuatu yang diibadahi dari selain Allah. Keterangan ini disampaikan pada saat menjelaskan syarah hadis dalam sahih Muslim,

من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم دمه وماله
"Barangsiapa yang mengucapkan kalimat (Laa Ilaaha illallah) kemudian ia ingkar terhadap segala yang diibadahi selain Allah maka haramlah darah dan hartanya".

- Sementara itu kita dapati dalam kitab pemerintah dan hakim dijelaskan bahwa seseorang sudah cukup keislamannya apabila telah mengucapkan syahadat, tidak seperti keterangan syaikhul Islam dan selainnya.

- Dan ketika menelaah perkataan para salafus saleh yang menerangkan bahwa iman adalah ucapan  dan amal, lalu adanya perkataan sebagian ulama sekarang bahwa iman hanya ucapan saja tanpa amal, maka terjadilah kebingungan.

- Dan ketika para ulama salaf menerangkan bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur: yaitu ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, dan pembenaran dengan hati, maka juga terjadi kebingungan.
Oleh karena itu, kami memohon fatwa dari anda tentang kebenaran masalah ini setelah memahami pertanyaan kami di atas?

Jawab: Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat ahlis sunnah wal jama’ah bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, dan pembenaran dengan hati. Iman tidak cukup diucapkan dengan lisan –namun demikian, pengucapan itu bermanfaat pada penerapan hukum-hukum di dunia seperti memandikan jenazahnya bila ia meninggal, mengkafani dan memakamkan di pemakaman kaum muslimin, dan selainnya dari hukum-hukum yang berlaku di dunia, selama tidak diketahui darinya sesuatu yang menyebabkan ia dihukumi kafir–. Adapun syahadat (Laa Ilaaha illallah) maknanya adalah (Laa ma’buuda bihaqqin illallah) (tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah), tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus disertai dengan pengetahuan terhadap maknanya dan pengamalan tuntutannya, sebagaimana firman Allah,

ذَٲلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ هُوَ ٱلۡبَـٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِىُّ ٱلۡڪَبِيرُ
"(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena Sesungguhnya Allah, Dialah (tuhan) yang haq dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS.al-Hajj: 62).

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ‌ۚ وَذَٲلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ 
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus." (QS.al-Bayyinah: 5). 

Ketua: syaikh Abdul Aziz bin Bazz | Anggota: Syaikh Abdurrazzaq Afifi, syaikh Abdullah Ghudayyan, syaikh Abdullah Qu’ud. (Majmu’ Fatawa Lajnah ad-Da’imah: 3/247-2490).

B. Fatwa syaikh al-imam Ibnu Bazz rahimahullah tentang murji’ah

Fatwa no. 20936, dinukil dari situs: fatwa.islamweb.net, 
سؤال: متى ظهرت فتنة الإرجاء أول ما ظهرت؟

جواب: الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد,
إن المرجئة – أو فتنة الإرجاء – ظهرت في آخر القرن الأول الهجري في الكوفة. و أول من تكلم في ذلك  هو حماد بن أبي سليمان. والمرجئة اسم فاعل من الإرجاء وهو التأخير نقول أرجأت كذا أي أخرته و منه قوله تعالى: (قالوا أرجه...) أي أخره...وقد قسم أبو الحسن على بن إسماعيل الأشعري المرجئة إلى عشر فرق في كتابه (مقالات الإسلاميين واختلاف المصلين), وهذه الفرق أهم أقوالها:
- أن الإيمان مجرد تصديق القلب ومعرفة بالله تعالى وأن الكفر هو الجهل به وهو قول جهم بن صفوان رأس الجهمية.
- قول محمد بن كرام رأي الكرامية أن الإيمان هو التصديق باللسان دون القلب.
- قول مرجئة الفقهاء أبو حنيفة ومن معه إن الإيمان اعتقاد القلب ونطق باللسان لا يزيد ولا ينقص ولا يعدون عمل الجوارح من الإيمان.
Penanya: "Kapankah fitnah irja itu muncul, yakni awal mula kemunculannya?"

Syaikh al-imam Ibnu Bazz rahimahullah menjawab: 
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam kepada rasulullah, keluarga, dan shahabatnya. Amma ba’du,
Sesungguhnya murji’ah –atau pemikiran irja– itu mulai muncul pada akhir abad pertama hijriyah tepatnya di kota Kufah. Dan yang mula-mula membicarakannya adalah Hammad bin Abi Sulaiman. Istilah murji’ah secara bahasa berasal dari isim fa’il (irja) yang berarti (ta’khir/ditinggalkan) , misalnya kita katakan, (arja’tu) maka artinya, (akhkhartuhu/aku tinggalkan), dari sinilah makna firman Allah (yang artinya) {mereka berkata ‘arjih’} maknanya mereka berkata ‘tinggalkan dia’…dan imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari telah menyebutkan bahwa murji’ah terbagi menjadi sepuluh golongan, sebagaimana dalam kitabnya (Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushallin).

Dari firqah ini yang paling terkenal pendapatnya di antaranya;

  • Bahwa iman telah sah hanya dengan pembenaran hati dan mengenal Allah Ta’ala, dan bahwa kekafiran adalah ketika tidak mengenal Allah Ta’ala. Ini adalah pemikiran Jahm bin Shafwan pimpinan firqah Jahmiyah.
  • Pemikiran Muhammad bin Kiram, pemimpin Karamiyah, bahwa iman telah sah dengan pengucapan saja tanpa harus diikuti keyakinan hati.
  • Pemikiran murji’ah fuqaha, Abu Hanifah dan yang bersama beliau, bahwa iman sah dengan keyakinan hati dan ucapan lisan, tidak berkurang dan tidak pula bertambah. Dan mereka tidak menganggap amalan badan sebagai bagian dari iman. **

C. Fatwa syaikh al-imam Shaleh Fauzan hafizhahullah 

Fatwa no. 5215, dinukil dari situs http://ar.islamway.net/fatwa/5215?ref=search,
سؤال: بعض الأقوال التي نرجو من الشيخ أن يبين هل هي موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة أم أن فيها شيئا من الخلل؟
1- قول بعض الناس: (أن عقيدة أهل السنة والجماعة أن العمل شرط في كمال الإيمان و ليس شرطا في صحة الإيمان) مع أن من المعلوم أن الإيمان عند أهل السنة قول و عمل وأنه لا إيمان إلا بعمل كما صرح بذلك بعض السلف,-
2- قول بعض الناس: (إن الكفر المخرج من الملة هو الكفر الإعتقادي فقط, أما العمل فلا يخرج من الملة إلا إذا كان يدل على إعتقاد كالسجود للصنم مثلا فإنه يعتبر كافرلأنه يدل على عقيدة في الباطن لا لمجرد السجود فقط, ومثله سب الله أو الإستهزاء بالدين أو نحو ذلك فلا سكفر الإنسان بمثل مهما كان),- جواب:
- القول الأول هو قول مرجئة أهل السنة وهو خطأ, والصواب أن الأعمال داخلة في حقيقة الإيمان فهو اعتقاد و قول وعمل يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية, وهذا قول جمهور أهل السنة لأن الله سمى الأعمال إيمانا كما في قوله تعالى: إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُہُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتُهُ ۥ زَادَتۡہُمۡ إِيمَـٰنً۬ا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ . وقال النبي صلى الله عليه وسلم: (الإيمان بضع وسبعون شعبة...الحديث رواه مسلم في صحيحه من حديث أبي هريرة رضي الله عنه.
- الثاني, هذا في الغالب, وهناك أعمال تخرج من الملة كترك الصلاة تكاسلا وكالسحر وتعلمه وتعليمه ومن نطق بكلمة الكفر إختيارا. وكل عمل لا بد أن يصاحبه قصدا فلا يعتد بعمل الناسي والنائم والصغير والمجنون والمكره لعدم القصد. هذا وأنصح لهؤلاء أن يتعلموا قبل أن يتكلموا لأن الكلام في مثل هذه المسائل خطير ويحتاج إلى علم.

Penanya: Ada beberapa pernyataan yang saya berharap kepada syaikh untuk menjelaskannya, apakah sesuai dengan akidah ahlis sunnah wal jama’ah ataukah padanya terdapat kekeliruan?

  1. Pernyataan sebagian orang: (bahwa akidah ahlis sunnah wal jama’ah adalah meyakini amal sebagai syarat kesempurnaan iman dan bukan syarat sahnya iman), padahal sudah dimaklumi bahwa iman di sisi ahlis sunnah adalah ucapan dan amal, dan bahwa tidak sah iman kecuali dengan amal sebagaimana diterangkan oleh sebagian salaf.
  2. Pernyataan sebagian orang: (bahwa kekafiran yang mengeluarkan dari Islam hanyalah kufur i’tiqadi (kufur yang berkaitan dengan keyakinan). Adapun amalan maka tidak ada yang mengeluarkan dari Islam kecuali menunjukkan adanya keyakinan, seperti sujud kepada berhala, maka itu dianggap kekufuran (yang mengeluarkan dari Islam) karena menunjukkan keyakinan hatinya, bukan hanya sujudnya saja. Dan contoh lain, misalnya mencela Allah atau mengolok-olok agama atau semisalnya. Jadi tidak dikafirkan seseorang dengan amalan-amalan lahir apapun (kecuali bila ada keyakinan hatinya)).
Jawab:
- Pernyataan pertama adalah pemikiran murji’ah dari kalangan ahlis sunnah dan itu pemikiran yang salah.  Yang benar bahwa amalan-amalan itu masuk dalam esensi (hakekat) keimanan. Jadi iman akan sah apabila terdiri dari keyakinan, ucapan, dan amal. Dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Ini adalah pendapat jumhur ahlis sunnah, hal itu karena Allah menamai amalan sebagai iman, sebagaimana di dalam firman-Nya,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُہُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتُهُ ۥ زَادَتۡہُمۡ إِيمَـٰنً۬ا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah timbul rasa takut dalam hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakkal". (QS.al-Anfal: 2).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Iman itu terdiri dari tujuh puluh bagian…". Hadis riwayat imam Muslim dalam sahihnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
- Pernyataan kedua itu hukum secara garis besarnya. Tetapi di sana juga ada amalan yang dapat mengeluarkan dari Islam, misalnya seperti meninggalkan shalat sebab malas, demikian juga sihir, baik mempelajari atau mengajarkannya, atau mengucapkan kata-kata kufur dengan sengaja. Hal itu karena setiap amalan itu terdorong oleh niat (kesengajaan). Dari sini, apabila amalan itu berasal dari seorang yang lupa atau seorang yang tidur atau anak-anak atau orang gila atau seorang yang terpaksa, maka tidak diperhitungkan. Demikian, dan saya menasehatkan kepada mereka-mereka (yang berpemikiran di atas) supaya belajar terlebih dahulu sebelum berbicara. Sebab pembicaraan tentang permasalahan seperti ini tergolong sangat riskan dan membutuhkan ilmu. **

Fatwa no. 9554, dinukil dari situs http://www.alfawzan.af.org.sa/node/9554. Syaikh hafizahullah meluruskan penggunaan istilah amal sebagai syarat iman,

سؤال: أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة, ما هو الصواب في الإجابة عن هذا السؤال "هل العمل شرط في صحة الإيمان أم شرط كمال؟"
جواب: ما عند أهل السنة و الجماعة وأهل العلم ما عندهم شك في أن العمل من الإيمان داخل في الإيمان ولذلك يعرفون بقولهم: (الإيمان قول باللسان واعتقاد بالجنان وعمل بالأركان يزيد بالطاعة وينقص بالعصيان). وأما لو كان شرط صار خارج! الشرط خارج المشروط, فلا يقال أن العمل شرط في الإيمان بل يقال العمل من الإيمان وداخل في حقيقته, هذا هو مذهب أهل السنة والجماعة. إنما ابتلينا في هذا الوقت بمتعالمين صاروا ينبثون عن غرائب المسائل ويظهرونها للتشويش على الناس و من ذلك هذه القضية, قضية العمل هل هو شرط في كمال الإيمان أم شرط في صحته؟ نقول ما هو بشرط, العمل داخل في الإيمان في حقيقة الإيمان فهو من حقيقة الإيمان وليس شرط له لأن الشرط خارج المشروط, هذا ضلال, نعم. 

Penanya: semoga Allah membalas kebaikan syaikh yang mulia, (pertanyaan saya): "Apakah jawaban yang benar atas pertanyaan ini, apakah amal itu syarat penyempurna iman ataukah ia syarat sahnya iman?"

Jawab: Jelas tidak ada keraguan di sisi ahlis sunnah dan ulama bahwa amal termasuk dalam esensi iman. Amal itu bagian dari keimanan dan masuk padanya. Karena itulah mereka mendefinisikan iman dengan, (ucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan amalan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan). Adapun bila amal itu dijadikan sebagai syarat, maka amal jadinya di luar (iman)! Karena syarat itu di luar sifat yang disyaratinya. Jadi, tidaklah dikatakan amal itu syarat iman, tetapi yang seharusnya amal itu bagian dari iman dan termasuk di dalam esensinya. Inilah mazhab ahlis sunnah wal jama’ah. 

Di saat sekarang ini kita diuji dengan adanya orang-orang yang sok berilmu. Mereka membuat istilah-istilah asing lantas membesar-besarkannya untuk menggalaukan pemikiran orang-orang, di antara realitanya adalah permasalahan ini. Permasalahan amal, apakah ia syarat penyempurna ataukah syarat sahnya? Maka kita jawab, bahwa amal bukan syarat, amal masuk dalam keimanan dan esensi keimanan itu sendiri dan bukan syaratnya, karena syarat itu berada di luar yang disyarati. Ini suatu kesesatan.  Naam. **

Demikianlah beberapa nukilan dari keterangan para ulama ahlis yang mudah dibawakan. Kepada Allah Ta’ala kita memohon taufik agar senantiasa kita, seluruh kaum muslimin dan ulamanya dibimbing di atas jalan yang dicintai dan diredhai-Nya. Amiin.
وصلى الله على نبيين محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. والحمد لله رب العالمين.     **

Tambahan Penting
Setelah keluarnya tulisan saya yang berjudul "Nasehat Untuk Saudaraku Ahlis Sunnah" dan fatwa syaikh Shaleh Fauzan yang saya lampirkan di sana, timbullah suatu tuduhan dari sebagian da’i bahwa saya telah mencela ulama. Dan karenanya, saudara da’i tadi mentahdzir saya dan majelis-majelis yang saya adakan agar dijauhi. Maka dengan ini izinkan saya menjelaskan ulang pokok tulisan saya agar supaya tidak disalahfahami terutama bagi mereka yang kurang mencermati tulisan dan apalagi telah dikuasai oleh hawa nafsu dan kebencian kepada saya. Kepada saudara keterangan ini:

1. Tujuan saya membawakan beberapa ketergelinciran syaikh Rabi al-Madkhali hafizhahullah adalah memberikan bukti atas sikap ekstrimnya beliau di dalam mengkritik pada suatu keadaan dan bukan maksudnya seluruh kritikan yang datang dari beliau ghuluw/berlebihan.

2. Selanjutnya menerangkan bahwa sikap ghuluw dalam mengkritik ini telah dimaklumi dan diingkari oleh kebanyakan ulama yang mu’tabar di sisi ahlis sunnah dan umat secara umum, mereka adalah yang mulia syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh Mufti Kerajaan Arab Saudi, syaikh yang mulia al-Allamah Shaleh Fauzan, masyaikh yang mulia; syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahumullah, dan syaikh Abdullah al-Ghudayyan rahimahullah. Sebagian ulama-ulama tadi ada yang secara langsung memberikan nasehatnya kepada beliau syaikh Rabi al-Madkhali hafizhahullah dan sebagian yang lain dengan kalimat-kalimat isyarat. (lihat tulisan saya, hal. 5-7).

3. Mengingatkan kepada para asatidzah agar tidak taklid kepada beliau dalam hal yang di suatu keadaan beliau ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menjarah (kritik) lawan yang menyelisihi. Oleh karenanya saya hanya menukilkan ketergelinciran beliau yang erat hubungannya dengan sikap ekstrim dalam mengkritik, sebagaimana pada poin pertama tentang celaan terhadap iman an-Nawawi rahimahullah dan poin ketiga tentang ektrimnya mengkritik lawan. 

4. Jika saudara seorang yang mau inshaf dan adil melihat, betapa banyak sudah kehormatan seorang muslim yang diharamkan Allah dan rasul-Nya telah dijatuhkan dan dirusak, kemudian timbulnya berbagai macam fitnah, perselisihan dan perpecahan yang terjadi di negeri ini yang di antara penyebabnya adalah sikap arogan dan ghuluw di dalam mengkritik. Maka, tulisan saya tidak lebih hanya nasehat kepada mereka yang ghuluw, pembelaan bagi mereka yang terzhalimi, dan mendudukkan perkara secara proporsional dan adil –biidznillah.

5. Saya dalam hal tersebut tidak lebih hanya menukil, dan tidak mengada-ada sedikitpun sebagaimana tuduhan yang dialamatkan kepada saya. Semuanya bisa dirujuk ke sumber yang saya cantumkan secara lengkap bagi yang ingin mengetahui dan tidak asal menuduh. Sebagiannya ada yang bisa didengar langsung dari perkataan syaikh hafizhahullah (yakni di YouTube) dan sebagiannya tertera dalam situs yang saya nukil darinya.

6. Jika ada yang bertanya tentang status situs yang menjadi referensi saya, maka situs tersebut (yakni pada link www.alathary.org/rabee/) memang saya akui secara khusus memuat puluhan rudud (bantahan) terhadap syaikh Rabi al-Madkhali hafizhahullah dan penjelasan tentang sikap ghuluw beliau dalam perkara jarah/kritikan. Dan meskipun saya pribadi sebenarnya kurang setuju dengan pemuatan keseluruhan hal tersebut, tetapi para nara sumber yang meng-uploadnya jelas dan menyebutkan sanadnya sampai kepada syaikh Rabi al-Madkhali hafizhahullah.

7. Saya hanya menukil ketergelinciran beliau dalam hal yang erat hubungannya dengan masalah kita (lihat poin 1,2,3) yakni untuk menerangkan bahwa tidak seluruh kritikan yang datang dari beliau diterima adanya, yang dalam hal ini tentang masalah media dakwah Rodja. Hal itu, sebagaimana telah berlalu penjelasannya, karena kebanyakan ulama kibar ahlis sunnah telah memberi rekom, meredhai, dan bahkan turut aktif di media tersebut. 

8. Kritikan yang datang dari beliau atau yang masyaikh yang berjalan di belakang beliau –yang dalam hal ini tentang media dakwah rodja –maka yang paling maksimal dikatakan adalah ijtihad beliau dan bukan hukum Allah dan rasul-Nya (hukum syar’i) yang wajib untuk diikuti kecuali di sana dibawakan dalil-dalil syar’i kemudian hal itu diikuti oleh para ulama yang lainnya. Oleh karenanya, siapa yang tidak mengambil pendapat beliau dalam hal ini juga tidak boleh dikatakan sebagai orang yang menyelisihi syari’at. Inilah kaedah yang ditetapkan para ulama di dalam masalah ijtihadiyah. Dari sini muncul istilah (Laa inkaara fil masa’ilil ijtihadiyah) "tidak ada pengingkaran dalam masalah yang bersifat ijtihadi". Berikut saya nukilkan perkataan al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah tentang menghadapi ijtihad ulama yang berbeda-beda,

وأما الحكم المؤول فهو أقوال المجتهدين المختلفة التي لا يجب اتباعها ولا يكفر ولا يفسق من خالفها فإن أصحابها  لم يقولوا هذا حكم الله ورسوله, بل قالوا اجتهدنا برأينا فمن شاء قبله ومن شاء لم يقبله ولم يلزموا به الأمة.
"Dan adapun hukum yang berasal dari suatu penafsiran maka terdiri dari pendapat-pendapat ahli ijtihad yang berbeda-beda yang mengikutinya tidak wajib. Tidak boleh memfasikkan atau mengkafirkan orang yang menyelisihinya. Sebab, para ahli ijtihad tadi tidak mengatakan, "Ini adalah hukum Allah dan rasul-Nya", tetapi mereka mengatakan, "Kami berijtihad dengan ra’yu (pendapat) yang ada pada kami, maka siapa saja boleh menerima dan boleh juga menolaknya". Dan mereka sama sekali tidak memaksa umat dengan pendapatnya tersebut. (dinukil dari Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al Ulama: hal. 66).

Dari keterangan di atas nampaklah kesalahan sebagian du’at hadahumullah, dimana mereka memaksa sebagian da’i agar mengikuti pendapat sebagian masyaikh. Kemudian siapa yang tidak sependapat dengan mereka karena mengikuti pendapat masyaikh ahlis sunnah yang lain lantas dituding sebagai seorang yang fasik, dengan kalimat-kalimat, ‘bukan salafi’, ‘seorang hizbi’, ‘pengikut hawa nafsu’, ‘sururi’, ‘tidak punya manhaj yang jelas’ dan selainnya. Bahkan lebih dari itu terkadang sampai berlebihan mengorek aib saudaranya di depan-depan umum_ wal-iyadzubillah.

9. Adapun ketergelinciran beliau syaikh Rabi al-Madkhali hafizhahullah di dalam masalah akidah, maka penting untuk disampaikan karena dakwah ahlis sunnah wal jama’ah memiliki perhatian penuh terhadap permasalahan akidah. Dan di awal risalah ini telah saya bawakan kepada pembaca beberapa nukilan perkataan ahli ilmu dalam permasalahan iman di sisi ahlis sunnah wal jama’ah _walhamdulillah.

10. Sungguh, demi Allah..suatu kedustaan besar dan fitnah yang saya tidak redha ketika ada seseorang yang menuduh saya mencela ulama, dan yang hak, saya selalu berusaha menghormati ulama ahlis sunnah seluruhnya tanpa fanatik kepada seorang masyaikhpun, mengambil faedah dari mereka, dan menimba ilmu mereka, termasuk syaikh Rabi al-Madkhali hafizhahullah sendiri. Karenanya saya mengatakan dalam tulisan saya, "Tulisan ini bukan untuk mengurangi kehormatan ulama, tetapi menunjukkan sisi ketergelinciran yang tidak boleh diikuti secara syara’. Kesalahan ini yang wajib ditinggalkan dengan tetap menghormati ulama dan mengambil faedah ilmu mereka." (lihat hal 10 dari tulisan saya). 

11. Terakhir kali, izinkan saya menukil perkataan syaikh Abdurrahman bin Mu’alla al-Luahiq al-Muthiri hafizhahullah tentang ketergelinciran ulama dari kitab beliau (Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al Ulama hal 142-143) , kata beliau,

إن زلات العلماء وأخطاءهم تصير فتنة لطائفتين: /طائفة تعظم ذلك العالم وتصوبه بل وتجعل سيئاته حسنات. /وطائفة تذمه وتخطئه بل تخيل حسنات سيئات. والحق هو العدل: تعظيم من يستحق التعظيم من مقدمي الأمة: علمائها وأهل الحل والعقد فيها, وصالحيها مع الإقرار بأن الرجل تكون له حسنات وسيئات فيوالى ويحمد ويمدح, ويعادى ويذم ويبغض بحسب ما فيه من الحسنات والسيئات.
يقول الإمام شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: ومما يتعلق بهذا الباب أن يعلم أن الرجل العظيم في العلم والدين من الصحابة والتابعين ومن بعدهم إلى يوم القيامة, أهل البيت وغيرهم قد يحصل منه نوع من الإجتهاد مقرونا بالظن, ونوع من الهوى الخفي فيحصل بسبب ذلك ما لا ينبغي اتباعه فيه وإن كان من أولياء المتقين. و مثل هذا إذا وقع يصير فتنة لطائفتين:/طائفة تعظمه فتريد تصويب ذلك الفعل واتباعه عليه./وطائفة تذمه فتجعل ذلك قادحا في ولايته وتقواه بل في بره وكونه من أهل الجنة, بل في إيمانه حتى تخرجه عن الإيمان وكلا هذين الطرفين فاسد. والخوارج والروافض وغيرهم من ذوي الأهواء دخل عليهم الداخل من هذا.
 ومن سلك طريق الاعتدال عظم من يستحق التعظيم وأحب ووالاه وأعطى الحق حقه فيعظم الحق ويرحم الخلق ويعلم أن الرجل الواحد تكون له حسنات وسيئات فيحمد ويذم ويثاب ويعاقب ويحب من وجه ويبغض من وجه. هذا هو مذهب أهل السنة والجماعة, خلافا للخوارج والمعتزلة و من وافقهم. (منهاج السنة: 4\543-544 ).

"Sesungguhnya ketergelinciran dan kesalahan ulama menimbulkan fitnah bagi dua kelompok:
- Satu kelompok tetap mengagungkan ulama itu dan membenarkannya, bahkan menjadikan kesalahannya sebagai kebaikan.
- Satu kelompok lagi mencela dan menyalahkannya, bahkan kebaikan-kebaikannya dianggap kesalahan.
Dan sikap yang benar adalah adil, yaitu memuliakan siapa yang berhak dimuliakan dari para pemuka umat ini, yakni ulama, ahli fikir dan musyawarah, serta orang-orang saleh mereka, dengan mengakui bahwa pada seseorang itu ada kebaikan dan juga keburukannya. Di satu sisi diloyali, dipuji, dan disanjung, di sisi lain bisa jadi dimusuhi, dicela, dan dibenci, (semuanya) seimbang dengan kebaikan dan keburukannya."

Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: 
"Dan yang berkaitan dengan bab ini agar diketahui bahwa seorang yang berkedudukan tinggi dalam keilmuan dan agama, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan yang datang setelah mereka sampai hari kiamat, dari kalangan ahli bait dan selainnya, terkadang muncul dari dirinya suatu ijtihad yang terselip padanya zhan (praduga) dan semacam hawa nafsu yang sangat halus, sehingga timbullah dari situ hal-hal yang tidak layak diikuti padanya meskipun ia termasuk wali-wali Allah yang bertakwa.
Dan hal yang demikian bila terjadi menimbulkan fitnah bagi dua kelompok:
- Satu kelompok tetap mengagungkannya dan berupaya membenarkan perbuatan itu dan mengikutinya.
- Satu kelompok lagi mencelanya dan menjadikan hal itu sebagai perusak citranya dan ketakwaannya, bahkan sampai merusak kebaikannya dan keadaannya sebagai ahli surga, bahkan lagi merusakkan imannya sampai dianggap mengeluarkannya dari keimanan. Dan kedua kelompok ini sama-sama tercela.
Dan kelompok khawarij dan rafidhah serta selainnya dari kalangan pengikut hawa nafsu terkontaminasi pada diri mereka perkara di atas.
Dan siapa yang berjalan secara adil, memuliakan siapa yang berhak dimuliakan, mencintai dan berloyal kepadanya, memberikan setiap hak kepada pemiliknya, ia mengagungkan kebenaran, menyayangi manusia, mengetahui bahwa pada seseorang ada kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukannya. Terkadang dipuji dan terkadang dicela, diberi hadiah dan diberi sanksi, mencintai di satu sisi, dan membencinya di sisi yang lain. Inilah mazhab ahlis sunnah wal jama’ah, berbeda dengan khawarij, mu’tazilah, dan siapa saja yang seperti mereka. (Minjahus Sunnah: 4/543-544).
Demikian keterangan ini saya buat, dengan harapan semoga dapat memperjelas kerancuan dan kesalahfahaman yang terjadi. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,

إِذۡ أَنتُم بِٱلۡعُدۡوَةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُم بِٱلۡعُدۡوَةِ ٱلۡقُصۡوَىٰ وَٱلرَّڪۡبُ أَسۡفَلَ مِنڪُمۡ‌ۚ وَلَوۡ تَوَاعَدتُّمۡ لَٱخۡتَلَفۡتُمۡ فِى ٱلۡمِيعَـٰدِ‌ۙ وَلَـٰكِن لِّيَقۡضِىَ ٱللَّهُ أَمۡرً۬ا ڪَانَ مَفۡعُولاً۬ لِّيَهۡلِكَ مَنۡ هَلَكَ عَنۢ بَيِّنَةٍ۬ وَيَحۡيَىٰ مَنۡ حَىَّ عَنۢ بَيِّنَةٍ۬‌ۗ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَسَمِيعٌ عَلِيمٌ 
"Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (QS.al-Anfal: 42).

Kuala Simpang, 18 Rajab 1435/18 Mei 2014
Eko Yuwono Abul Hasan

0 comments:

Post a Comment